fakta dan analisa

coba lihat bagaimana fakta dilapangan dan laporan yang sampai tuk dianalisa bagaimana follow up nya...

Selasa, 04 Mei 2010

demokrasi-pandangan-sikap rakyat

by masadmasrur @ 2007-08-17 – 14:54:05

Wawancara dengan Zainuddin MZ

Tanggal 15 Juni 2007

Di Jakarta

Sejak awal tahun 1980-an masyarakat muslim di Indonesia sering diperdengarkan dengan ceramah ?kaset? KH. Zainuddin MZ. Ceramahnya sangat khas dan memukau masyarakat muslim waktu itu. Tak heran KH. Zainuddin MZ muncul menjadi ?da?i sejuta umat? yang digemari jamaah di berbagai pelosok nusantara.

Pada masa kekuasaan dan pemerintahan Orde Baru da'wahnya menjadi menarik karena mampu menembus berbagai sektor, kalangan dan golongan. Kepiawaian ceramahnya sempat mengantarkan Zainuddin ke dunia politik. Pada tahun 1977-1982 ia bergabung dengan partai berlambang Ka'bah (PPP). Jabatannya pun bertambah, selain da'i juga sebagai politikus. Namun, kemudian ia merasa terjepit ruang da'wahnya. Maka sejak tahun 1983 ia tidak lagi menggeluti urusan politik praktis. Pernyataannya yang sangat terkenal saat itu adalah, "Saya tidak ke mana-mana. Tapi, saya ada di mana-mana." Sejak itulah ia memfokuskan lagi profesinya sebagai da'i.

Anak tunggal pasangan Turmudzi dan Zainabun dari keluarga Betawi asli ini sejak kecil sudah mahir berpidato. Udin -nama panggilan keluarganya- suka naik ke atas meja untuk berpidato di depan tamu yang berkunjung ke rumah kakeknya. 'Kenakalan' berpidatonya itu tersalurkan ketika mulai masuk Madrasah Tsanawiyah hingga tamat Aliyah di Darul Ma'arif, Jakarta. Di sekolah ini Udin belajar pidato dalam forum Ta'limul Muhadharah (belajar berpidato). Kebiasaannya membanyol dan mendongeng terus berkembang. Setiap kali tampil, ia memukau teman-temannya. Kemampuannya itu terus terasah, berbarengan permintaan ceramah yang terus mengalir.

Pertama kali, ia masuk Partai Persatuan pembangunan (PPP) karena penasaran mengapa partai berbasis Islam tidak memenangkan pemilu. Namun, tampaknya ia ?tak betah? berlama-lama di PPP. Ketidakpuasannya terhadap PPP ini karena ia menganggap PPP mulai stagnan dan kurang mengakomodasi pendapat-pendapat yang baru. PPP hanya terjebak pada how to sell, miskin isu, elitnya juga terjebak pada status quo dan -pada umumnya umat Islam ini terjebak pada idiom formal, sehingga diperlukan partai (Islam) yang lebih terbuka, demokratis sekaligus non-parsial, tidak membedakan latar belakang ke-Islaman umat, dan rahmatan lil alamin sekaligus merubah pandangan ?menyeramkan? hubungan antara agama dan negara. Akhirnya, ia bersama rekan-rekannya mendeklarasikan PPP Reformasi pada 20 Januari 2002 yang kemudian berubah nama menjadi Partai Bintang Reformasi dalam Muktamar Luar Biasa pada 8-9 April 2003 di Jakarta.

KH. Zainuddin MZ akhirnya mengundurkan diri dari dunia politik dan kembali menjadi da?i sejuta umat, setelah sebelumnya ia dijuluki ?da?i sebagian umat? karena keterlibatannya sebagai fungsionaris partai.

Berikut wawancara Haerullah, Masad dan Umar dari Elcendikia dengan KH Zainuddin MZ beberapa waktu lalu di rumahnya.

Elcendikia:
Pertama-tama saya ucapkan terima kasih atas waktu yang diberikan.
Peran dan kiprah Pak Kyai di dunia dakwah sangat luas, begitu pula di dunia politik nasional. Namun, yang menarik belakangan ini adalah munculnya Pak Kyai sebagai Ketua Umum Partai Politik di Indonesia, dimana iklim demokrasinya makin terbuka sejak era reformasi mulai bergulir.
Menurut anda apa sebetulnya pengertian demokrasi. Terutama pelaksanaan demokrasi di Indonesia?

KH Zainuddin MZ:
Pelaksanaan demokrasi, selalu mengacu kepada mayoritas-minoritas. Artinya jumlah (kuantitas) menjadi ukuran di dalam pelaksanaannya, meskipun sampai saat ini masih dicari cari bentuk yang ideal dari demokrasi itu.
Sementara, di dalam Islam, demokrasi bukan bentuk hubungan mayoritas-minoritas, tetapi kualitas pendapat dari masing-masing. Artinya, di dalam Islam, ada perintah untuk mengikuti golongan yang terbesar dan ahlinya. Artinya harus ada dua kriteria yang harus diikuti, yaitu golongan yang besar dan benar, dan mereka juga adalah ahlinya. Jadi bukan semata-mata mengetengahkan mayoritasnya (kuantitasnya) tetapi kualitasnya. Meskipun demokrasi belum memenuhi kualitas tetapi jangan justru kita meninggalkannya sehingga tidak ada demokrasi dan tidak ada kualitas sama sekali. Pelaksanaan demokrasi hingga sampai tahap yang ideal membutuhkan waktu yang lama.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia ini masih sangat muda, artinya masih banyak yang harus dibenahi dari cara kita berdemokrasi. Di Amerika saja untuk mencapai tingkat demokrasi yang seperti sekarang ini dibutuhkan waktu 200 tahun. Dan pasti memakan banyak biaya. Rakyat Amerika berjuang terus selama betahun-tahun untuk mendapatkan kesepakatan demokratis seperti sekarang ini.

Elcendikia:
Selama ini Islam memiliki konsep musyawarah tersendiri yang berbeda dengan konsep demokrasi, seperti yang tengah berlangung sekarang ini. Kemudian,apakah Islam kompatibel dengan Demokrasi?

KH. Zainuddin MZ:
Saya kira pertanyaannya perlu dibalik. Apakah demokrasi kompatibel dengan Islam. Maksudnya, Islam lebih luas dari demokrasi.
Contohnya di China. Awalnya pemerintah itu sangat represif sekali, tetapi ketika kemajuan ekonomi makin tercapai, orang akan pelan-pelan lupa dengan tragedi Tiananmen. Ini tidak prototype yang ideal memang, tetapi ketika kita bicara demokrasi, dalam kaitan dengan Islam tadi, bagaimana itu mengarah pada hal-hal yang bersifat kualitas bukan kuantitas. Kalau orang mau, ia bisa saja berbicara atas nama demokrasi.
Misalnya begini. Kalau ada 15 kiai berbeda pendapat tentang sebuah jembatan, maka kajian ini akan menarik, yang kasihan kan jembatannya, padahal mestinya yang layak untuk menilai sebuah jembatan adalah insinyur. Meskipun ia sendirian, tetapi ia adalah ahli (jembatan) nya itu, bukan para kiai ini, meskipun ia berjumlah banyak. Kalau demokrasi itu 50+1 sudah demokrasi, tetapi ini kuantitas. Bukan yang ditenkan dalam Islam yaitu kualitas tadi.
Kalau kita bilang memang kita masih mencari bentuk yang ideal. Masih perlu banyak yang harus dipikirkan tentang demokrasi ini.

Elcendikia:
Islam dipimpin oleh alim ulama dan kyai. Tetapi, ternyata tidak semua ulama atau kyai mampu melakukan fungsinya sebagai pemimpin umat. Hal ini diperparah oleh kultur kita yang masih paternalistik, sehingga seolah kyai nya-lah yang harus selalu diikuti sikapnya, termasuk sikap dalam berpolitik, sampai-sampai ketika kekuatan poltik hendak mengunjungi masyarakat, ia cukup bertemu kyainya. Padahal iklim demokrasi sekarang membebaskan setiap umat untuk menentukan pilihannya, termasuk dalam menentukan hal-hal lain pula. Apa yang perlu dibangun lagi dari para kiai ini? Apakah kita tertinggal benar dalam hal demokrasi ini?

KH. Zainuddin MZ:
Masalahnya memang kompleks. Kita sendiri juga miskin dengan ulama-ulama yang punya bobot. Misalnya, kita anggap kita miskin ulama seperti Hamka. Ulama yang lembut dan lunak, yang rela meninggalkan posnya di MUI (Majelis Ulama Indonesia) ketika ada permasalahan-permasalahan prinsip. Ulama seperti itu yang jarang kita miliki, selalu berpihak pada kepentingan umat.
Barangkali memang reformasi ini adalah kebersamaan, jadi ketika kita bicara peran individu itu pengertiannya menjadi agak lentur, dan tidak lagi terlihat sebagai sosok yang menonjol.

Elcendikia:
Hampir mayoritas di partai-partai Islam, apakah mayoritas partai Islam telah memiliki kecenderungan melaksanakan demokrasi Islam sesuai alur yang benar. Yaitu mengikuti golongan yang terbesar dan benar dan ahlinya, seperti idealnya demokrasi dalam masyarakat muslim. Apalagi kondisi demokrasi di Indonesia saat ini belum mencapai tahap yang bisa menyejahterakan masyarakat. Apakah kaidah itu telah dimiliki oleh sebagian oleh partai-partai politik sekarang ini? Dan bagaimana peran elit partai ini sesungguhnya, apakah mereka telah betul-betul memperjuangkan kepentingan masyarakat?

KH Zainuddin MZ:
Kayaknya sih belum. Sedikit saya gambarkan bahwa sampai saat ini masih terlihat ?gaya Ken Arok? dalam iklim politisi kita. Artinya, jangan sampai ada politik balas dendam yang berkepanjangan, seperti halnya iklim politik jaman (Ken Arok) itu.
Dalam politik, seolah yang dikejar memang hanya kekuasaan. Dakwah sendiri membutuhkan istrumen untuk mencapai tujuannya, sehingga dalam perjuangan struktural ia membutuhkan kekuatan. Partai politik adalah salah satunya. Banyaknya partai politik berasas Islam pada iklim demokrasi di Indonesia sekarang ini pasti memiliki ciri masing-masing.
Nah, hal ini tentu saja berkaitan dengan tujuan dan cara pelaksanaannya. Tapi tampaknya, tujuan dan cara (dalam berpartai) ini menempati posisi yang sama, meskipun dalam pelaksanaannya bisa saja beda alur. Tapi lagi-lagi ini sah menurut politik.
Kalau kita bicara elit. Partai politik akhirnya menjadi pengantar para elitnyanya menuju ke kekuasaan tadi, sehingga fungsi partai politik sebagai salah satu media untuk kepentingan rakyat tidak tercapai.
Latar belakang saya membentuk partai politik, bahwa dakwah ini perlu kekuatan riil untuk mencapai tujuannya. Sebab kalau hanya dakwah seperti ini, sulit untuk mencapai sendiri tujuannya. Perlu kekuatan struktural untuk mencapai perubahan ini. Dakwah bisa menjawab persoalan, tetapi seringkali justru terjebak pada ide-ide formal. Salah satu alat untuk berdakwah itu adalah misalnya membangun partai politik. Apalagi partai yang sebelumnya yang sudah ada masih stagnan dan kurang mengakomodasi pendapat-pendapat yang baru. Partai-partai ini hanya terjebak pada how to sell (bagaimana cara menjual partainya pada masyarakat).
Pertama, partai Islam miskin isu, kedua, elitnya juga terjebak pada status quo dan ketiga, pada umumnya umat Islam ini terjebak pada idiom formal.
Nah, kita ingin menghidangkan (partai politik ini) yang non-parsial. Artinya partai politik Islam yang berwajah rahmatan lil alamin, sekaligus juga bisa mengubah gambaran yang menyeramkan terhadap hubungan antara agama dan negara.

Elcendikia:
Dalam diktum sejarah, puluhan tahun lalu muncul sosok-sosok yang memberikan pandangan ideologi Islam dan membawanya ke dalam gerakan politik. Misalnya H.O.S. Tjokroaminoto, yang kemudian membentuk Sarekat Islam (SI), dan membuat buku tentang Sosialisme Islam. Mungkin terdapat perbedaan-perbedaan pandangan antar kiai dan ulama dalam konteks ideologi-ideologi yang berbeda ini.
Juga Sjafruddin Prawiranegara yang membuat buku Sosialis Religius, yang sampai saat ini buku-buku itu masih laris menjadi rujukan. Nah, dalam konteks ideologi Islam, Sosialisme Religius yang dikembangkan oleh Partai Bintang reformasi (PBR) ini bagaimana menurut anda?

KH Zainuddin MZ:
Setiap zaman akan melahirkan anaknya. Penari tahu irama gendang. Artinya dibutuhkan improfisasi dalam menyampaikan pemikiran-pemikiran keislaman itu tadi. Misalnya kalau Islam memiliki universalisme itu, maka sosialisme itu adalah bagian dari ?keislaman?.
Misalnya kita bicara nasionalisme, sesungguhnya Islam memberikan sebuah dorongan yang besar. Ketika kita memahami ucapan Rosul; ?aku cinta tanah arab, karena aku dilahirkan di sini?, ini memberikan arti nasionalisme, karena mencintai tanah kelahirannya. Artinya, kalau kita orang Indonesia, tentu kalimatnya mencintai tanah airnya. Saya melihat bahwa Islam mendorong semangat nasionalisme.
Tetapi kalau pemikirannya menjadi ?religius sosialis? maka nilai-nilai yang didalamnya menjadi multitafsir. Ketika PBR mendudukkan Islam sebagai asas, memang ada pemikiran, bagaimana kalau kita sosialis saja. Tetapi bagi saya, kita tidak usah banci. Islam sudah jelas, tidak perlu terjebak pada predikat sosialisme yang membuat kita justru tidak jelas kelaminnya. Kita menempatkan partai (PBR ini) yang non-parsial (non-faksi), tetapi yang rahmatan lil alamin. Abangan, Santri, priyayi, tradisional sampai yang moderat bisa masuk tanpa harus melihat predikatnya.

Elcendikia:
Tetapi jika diartikan ?politis?, apakah kata-kata rahmatan lil alamin itu muncul justru untuk mentransformasikan gagasan-gagasan sosialis religius itu?

KH. Zainuddin MZ:
Bukan. Tetapi lebih jauh dari sekedar sosialis religius itu. Karena kata-kata itupun, misalnya kenapa alam ini menjadi tidak ramah dan muncul banyak bencana alam, karena kita tidak mengembangkan konsep rahmatan lil alamin itu. Kenapa terjadi gempa, tsunami dan sebagainya, karena kita tidak mengerti konsep rahmatan lil alamin itu. Kita tidak mengerti apa kemauan alam itu, sehingga kita justru sering frustasi dibuatnya.

Elcendikia:
Kita mengambil contoh di Syiria atau negara timur-tengah lainnya, Irak misalnya. Saddam Hussein dengan partai Baath-nya semula menganggkat idiom Sosialisme Islam, meskipun pada akhirnya kekuasaan juga yang menggesernya dari wacana sosialisme ini ke tindakan yang kapitalis. Nah, di PBR ini juga nampaknya akan mengangkat wacana Sosialisme Religius untuk memperjelas pasar dan membuka diri. Bagaimana pendapat anda?

KH. Zainuddin MZ:
Memang gagasan sosialis religius ini menarik untuk anak-anak muda. Tetapi sosialis religius ini juga rentan, karena di tengah masyarakat masih paternalistik, ketika partai berbasis sosialis religius ini dikawal oleh orang-orang yang ?ngambang? maka partai ini akan menjadi ?banci?. Ganti kelamin dan tidak jelas.
Secara ideal dan substansif, sebetulnya PBR mampu mengubah wajah Islam politik yang sebelumnya kaku. Saya selaku pendiri rumah (PBR) ini juga berharap PBR tetap eksis. Tetapi, lagi-lagi, PBR akan terjebak pada pragmatisme kekuasaan. Ia tak lolos Electoral Treshold, yang akhirnya memaksa dia untuk merger dengan Partai Pelopor. Ini kan sudah banci dia.

Elcendikia:
Tetapi saya melihat, PBR berusaha melakukan demokrasi dan terbuka, sehingga sejalan dengan hal-hal lain (misalnya sosialisme) tadi? Bagimana sesungguhnya kondisi PBR pada saat anda bangun dahulu?

KH Zainuddin MZ:
Ada kondisi sosial lain yang melingkupi pembentukan PBR jaman itu. Pertama, masyarakat kita kan masyarakat Mall. Jadi kalau ada Mall baru, atau partai baru, mereka akan ramai-ramai mengunjunginya. Tidak belanja, mungkin hanya jalan-jalan saja. Kedua, pembentukan PBR ini berbarengan dengan krisis ekonomi. Dilema ini seperti daun kering. Jadi masyarakat itu mudah terbakar tetapi tidak bisa diikat. Mereka mudah ?dipengaruhi? dengan hal-hal baru, tetapi sulit jika harus diikat dalam satu lembaga politik seperti partai ini. Misalnya tahun 1999, partai menipu rakyat, tapi di 2004, rakyat menipu partai. Mereka sudah cerdas, menghadapi money politic misalnya, ambil uangnya sementara pilihannya belum tentu. Akhirnya partai harus ?kerja keras? untuk ini. Kalau istilah Huntington itu tidak ada demokrasi dibawah $100.
Ketiga, dalam kondisi seperti itu, saya memang tidak punya jarak dengan mereka. Saya selalu berkeliling di setiap pelosok, pulau-pulau terpencil. Kedekatan inilah membawa warna tersendiri. Kalau di partai-partai lain, dalam pembentukannya, sulit nyari pengurus, disini sulit nyaring pengurus karena saking banyaknya.
Saya terjun langsung di tengah masyarakat. Bahkan sampai di tingkat rantingpun saya turun. Ini juga membutuhkan biaya dan stamina yang kuat. Kalau di Jawa mungkin gampang, tapi kalau di Kepri (Riau) kita harus menggunakan kapal untuk mengunjungi setiap daerah yang ada disana.
Memang ada sebagian umat yang menyayangkan sikap saya, membentuk partai politik ini. Artinya, ia menyayangkan, saya berada pada, dimana ia tidak berada disitu. Maka sekembalinya saya dari politik praktis, saya bisa langsung kembali diterima umat. Karena saya besar terlebih dahulu di tengah-tengah umat. Artinya basis saya adalah umat. Tidak seperti da?i yang dikembangkan oleh media. Begitu media memangkasnya, maka terpangkaslah ia, dan sulit lagi diterima masyarakat.

Elcendikia:
Setelah meninggalkan dunia politik, apa harapan anda terhadap PBR yang pernah anda dirikan dalam perkembangannya nanti?

KH. Zainuddin MZ:
Sebagai salah seorang yang mendirikan Partai saya tentu berharap partai ini tetap eksis selanjutnya. Pertama, rumah ini (PBR), saya berharap PBR tetap ada dan bisa menjadi rumah yang besar tanpa parsial. Kedua, PBR konsisten memelihara Islam yang rahmatan lil alamin, sehingga ada warna yang jelas dan tidak banci.*dicopy tgl 5 mei 2010

Tidak ada komentar:

ormas

nasiode